“Politics
is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it
incorrecly and applying the wrong remedies” –Groucho Marx
Quote
diatas saya rasa sangat tepat untuk menggambarkan mengenai situasi politik
Negeri ini. Seluruh headline media
massa sedang sibuk memberitakan mengenai dualisme dari seorang Susilo Bambang
Yudhoyono yang berujung pada sebuah role
conflict. Menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai berlambang segitiga
sekaligus merupakan pemimpin sebuah Negeri dengan kompleksitas permasalahan
yang ruwet tentu bukan hal mudah yang
harus dihadapi. Pro kontra pun muncul sebagai bentuk opini atas nama demokrasi.
Dikebiri, begitu istilah yang saat
ini ramai digunakan untuk menggambarkan posisi Anas Urbaningrum sebagai seorang
Ketua Umum Partai pemenang pemilu 2004 dan 2009 ini.
Jika saya diizinkan menelisik
kebelakang, memutar jarum waktu sebagai sebuah refleksi, ke-Agung-an Demokrat
tampaknya mulai runtuh sejak kasus wisma atlet yang menyeret mantan
Bendaharawan Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin muncul ke permukaan dan
diberitakan secara terus-menerus oleh media massa. Kemudian menyusul Angelina
Sondakh dan Andi Mallarangeng. Walaupun
banyak pihak masih memperdebatkan soal dugaan keterkaitan Anas Urbaningrum di
kasus Hambalang, namun pendapat masyarakat sudah mengarah kepada prasangka buruk yang berakhir dengan justifikasi dan
kemudian ditutup dengan sempurna oleh hasil survei yang dirilis oleh Lembaga
Survei Saiful Mujani Research and Consulting pada 3 Februari 2013.
Delapan koma tiga persen (8,3%)
hasil yang didapatkan oleh Partai Demokrat terkait dengan elektabilitas parpol
cukup menjadi sebuah tamparan keras bagi seluruh anggota, simpatisan dan kader
partai ini. Dan kembali kepada paragraf pertama dari tulisan ini, SBY sebagai
ketua Majelis Tinggi memutuskan untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan. Hal
signifikan yang beliau lakukan adalah dengan penandatanganan pakta integritas
pada Minggu 10 Februari di kediaman pribadinya, Puri Cikeas, Bogor. Anas tidak
hadir dalam acara ini karena dikabarkan sakit.
Banyak yang kecewa dan khawatir atas keputusan
ini. Mereka yang kontra mengganggap bahwa dengan “turun-langsung” nya SBY dalam
mengurusi gejolak yang sedang terjadi di partai ini akan membuat fokus untuk
mengurusi Negara menjadi pecah dan berujung pada ketidakstabilan kondisi
politik dalam Negeri.
Melihat fenomena politik ini,
saya akan mencoba menganalisa dari kacamata yang berbeda. Sebagai seorang
pemimpin yang menempati pucuk pimpinan tertinggi dari sebuah organisasi yang
dibangun dan dibesarkan dengan susah payah, sangat manusiawi jika pada akhirnya
SBY memutuskan untuk mengambil alih proses politik di dalam tubuh Partai
Demokrat. Namun yang saya sesalkan disini adalah kurang adanya komunikasi yang
komperehensif dan terpadu antara SBY selaku Ketua Majelis Tinggi (Pendiri dan
Pembesar partai) dengan Anas Urbaningrum selaku Ketua Umum yang dipilih
berdasarkan hasil kongres yang diselenggarakan pada tahun 2010-yang
berarti-mayoritas kader dan simpatisan Demokrat saat itu percaya pada Anas.
Padahal jika ditarik sebuah benang merah, terdapat kesamaan visi untuk
“menyelematkan” Demokrat dari kehancuran yang lebih parah. Sama-sama ke Depok, tapi yang satu naik Commuter Line yang satu nya
naik P54. Hahaha.
Mengenai
kekhawatiran publik bahwa urusan Pemerintahan akan menjadi terbengkalai dengan
“terjun-langsung” nya SBY dalam kemelut internal Demokrat, maka yang perlu
dilakukan SBY adalah menunjukkan hasil nyata bahwa di penghujung masa kepemimpinannya
sebagai seorang Presiden dia bisa meninggalkan jejak di hati masyarakat sebagai
sebuah pemimpin yang sukses membawa perubahan. Mudah? Siapa bilang. Kerja
keras, sungguh-sungguh dan solidaritas seluruh aparatur pemerintah sangat
dibutuhkan dalam hal ini. Media massa
pun sebaiknya harus belajar bagaimana memberitakan secara “seimbang” dan
“objektif”. Jangan terus-menerus cecoki bangsa ini dengan pesimisme, prasangka
dan pola pikir yang berujung pada kehancuran.
Akhir kata,
mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang tidak sesuai atau sepantasnya untuk
dituliskan. Jika terdapat kesalahan, penulis tentu sangat mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun.
-Aprilia
Nurjannatin-
Depok,
11 Februari 2013
Sumber :
Harian Seputar Indonesia edisi Senin
11 Februari 2013
Harian Kompas edisi Senin 11
Februari 2013
Fisipers UI #26 Edisi Desember
2012s